Senin, 29 Juni 2009

MOTIVASI PROFESI GURU

 MOTIVASI PROFESI GURU 

Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, danjuga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikanpelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagianak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapatmenjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatantersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelaskhusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuahkelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anakdisana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anakberusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susunbentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakankepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedangmenyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagiananak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihatseorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnyakepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugasmereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami CerebralPalsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannyamelonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengankepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Diatergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantumenyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangansaya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasadamai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anakdisana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak merekatersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelahmembereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiapanak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihatmata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibandingdengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menujupintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambilberkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat sayamelambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi rodamereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuksekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak kesamping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diamsaya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikatkecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Sayabiarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Banggakepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaanyang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, jugapendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebabmereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahayakebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancarpendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak

Tidak ada komentar:

KWITANSI PEMBAYARAN